Gangguan Jiwa Dimulai Sejak Dalam Kandungan

Umumnya, bila membicarakan masalah kesehatan jiwa biasanya dimulai dari sejak pertama kali seseorang terpapar stressor yang berat sampai timbul gejala-gejala. Misalnya ditemukan ada orang yang depresi kemudian merasa ada suara-suara yang seperti menyuruhnya menceburkan diri ke sumur, ternyata setelah dirunut sebelumnya ia habis mengalami konflik rumah tangga yang rumit. Tapi jarang sekali merunut sampai sejauh sebelum orang itu dilahirkan.

Padahal, berbagai penelitian terbaru menunjukkan adanya keterkaitan antara masa dalam kandungan dengan kesehatan mental dan fisik seseorang di masa yang akan datang. Penelitian-penelitian berikut membuktikan bahwa kesehatan jiwa seseorang telah dimulai sejak ia dalam kandungan.


Van De Carr (1979) menemukan bahwa seorang pemusik yang hebat terlahir dari seorang ayah yang menggeluti musik, pola-polanya sudah dipelajari sejak dalam kandungan pada saat bayi belum lahir, sehingga ia sudah terbiasa terpapar oleh suara komposisi lagu yang teratur.
Marc Lehrer, seorang ahli dari University of California menemukan bahwa 3000 bayi yang diteliti serta diberikan stimulasi dini berupa suara, musik, cahaya, getaran, dan sentuhan, ternyata setelah dewasa memiliki perkembangan fisik, mental, dan emosi yang lebih baik. Kemudian Craig Ramey, meneliti bahwa stimulasi dini, bonding and attachment pada bayi baru lahir dapat meningkatkan IQ bayi antara 15-30%. Penelitian ini didukung oleh Beatriz Manrique (Presiden The Venezuela Ministry for The Development of Intelligence) dimana ketika ia meneliti 600 bayi, ternyata bayi yang mendapat stimulasi sejak dalam kandungan memiliki kemampuan adaptasi, attachment dan bahasa yang lebih baik.

Demikian juga kaitan antara masa kehamilan dengan gangguan jiwa. Selama ini di masyarakat telah terbentuk stigma yang salah terhadap gangguan jiwa, antara lain gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan, bila pun dapat individu tidak diterima lagi di keluarga dan masyarakatnya, mengidap gangguan jiwa dianggap sebagai aib, dan banyak penderita gangguan jiwa menolak mengakui bahwa mereka memang mengidap gangguan jiwa, sehingga penderita lambat dibawa ke klinik pengobatan. Anggapan tersebut keliru, karena dengan pengobatan yang baik banyak penderita dapat kembali ke masyarakat dan dapat melakukan peran secara optimal.

Timbul pertanyaan, apakah gangguan jiwa bisa dideteksi sedini mungkin dan dicegah perkembangannya?

Ambillah contoh, schizofrenia. Pada tahun 1988, Mednick dkk dalam penelitian epidemiologi melaporkan penemuan yang menarik, yaitu hubungan antara schizofrenia dengan infeksi virus dalam kandungan. Laporannya didasarkan atas epidemi virus influenza pada tahun 1957 di kota Helsinki. Epidemi ini sangat menarik mengingat, pertama, terjadinya dalam kurun waktu yang pendek, hanya 5 minggu. Kedua, epidemi ini sangat menyebar. Hampir dua pertiga penduduk kota ini terinfeksi dalam berbagai tingkatan. Kondisi ini memungkinkan dilakukannya evaluasi jangka panjang.

Mednick membuktikan bahwa mereka yang pada saat epidemi sedang berada pada trimester kedua kehamilan memiliki risiko lebih tinggi menderita schizofrenia di kemudian hari.

Pada penderita schizofrenia terjadi kelainan perkembangan neurokognitif sejak dalam kandungan. Beberapa kelainan neurokognitif itu antara lain sulit memusatkan perhatian, kemampuan untuk membedakan rangsang suara yang berurutan menurun, fungsi eksekusi dan kerja memori terganggu. Dipercaya kelainan neurokognitif di atas didapat sejak dalam kandungan, dan dalam fase kehidupan selanjutnya diperberat oleh stressor yang berat, infeksi otak, trauma otak, atau terpengaruh zat-zat yang bisa merusak fungsi otak seperti narkoba. Kelainan neurokognitif yang telah berkembang ini menjadi dasar dari gejala-gejala schizofrenia seperti halusinasi, kekacauan proses pikir, waham, perilaku yang aneh, dan gangguan emosi.

Referensi : Keperawatan Jiwa (Iyus Yosep, 2007)

1 comments:

keperawatan jiwa said...

BAGUS NEMG ARTIKELNYA

Post a Comment